hardiknas
    Peringkat 4 Lomba Blog Hardiknas 2011

Sabtu, 23 April 2011

Kebijakan sistem pendidikan baru di Indonesia yang penuh diskriminasi


Sumber : Dokumentasi pribadi
Akhir-akhir ini Harian Kompas selalu menyoroti kondisi pendidikan di Indonesia dalam rubriknya, Pendidikan & Kebudayaan. Namun ada satu artikel yang menarik hati saya dalam menuliskan intisarinya di dalam blog ini yaitu artikel mengenai pemerintah Indonesia yang membuat rancangan sistem pendidikan baru yang bertujuan untuk meningkatkan performa pendidikan di Indonesia pada sekitar awal bulan April lalu.

Kebijakan yang tidak bijak.
Dalam rancangan sistem pendidikan yang baru ini pemerintah akan membagi jalur pendidikan menjadi dua jalur besar berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa, yaitu jalur formal standar dan jalur formal mandiri. Jalur formal mandiri diperuntukkan bagi siswa yang mapan secara akademik maupun finansial atau dapat kita sebut siswa yang sudah kaya. Sedangkan jalur formal standar diperuntukkan bagi siswa yang secara finansial bisa dikatakan kurang bahkan tidak mampu.
Namun, timbul satu pernyataan yang negatif mengenai hal diatas, yaitu dengan diberlakukannya sistem pembagiaan ini, tentu saja akan timbul rasa diskriminasi di kalangan orang yang tidak mampu meskipun pemerintah berdalih bahwa akan disediakan beasiswa bagi siswa yang kurang mampu miskin agar dapat menuntut ilmu pada jalur formal mandiri.
Namun, tetap saja meskipun pemerintah akan memberikan beasiswa bagi siswa yang tidak mampu, masih terjadi diskriminasi antara siswa tidak mampu dan siswa kaya di jalur formal mandiri ini. Bayangkan saja, seandainya ada seorang siswa miskin yang memperoleh beasiswa untuk bersekolah di jalur formal mandiri yang istilahnya tempat sekolahnya siswa kaya. Bukankah kondisi seperti ini malah menjadikan siswa miskin ini menjadi minder dan rendah diri. Ketika teman-temannya selalu mengenakan seragam yang bersih dan tersetrika dengan rapi dengan menggunakan pelembut dan pewangi pakaian sedangakan siswa miskin ini hanya mampu mengenakan seragam bekas alias hibahan dari tetangganya belum tentu disetrika, rapi dan wangi, bukankah kondisi seperti ini malah menjadikan siswa miskin ini menjadi objek tontonan dan ejekkan bagi siswa-siswa kaya?.

Solusi paling tepat yang dibutuhkan.
Bagi saya, pembagian dua jalur antara "si Kaya" dan "si Miskin" seperti diatas, bukanlah solusi paling tepat. Karena masih timbul kekurangan lain yang mengganggu proses kegiatan belajar mengajar. Mungkin, ada baiknya bila kita mengikuti solusi negara lain yang istilahnya "lebih cerdas" dalam menangani hal ini. Tidak usah jauh-jauh, contoh saja negara tetangga kita, Thailand dan Kamboja yang telah merintis pendidikan gratis bagi seluruh warganya tanpa terkecuali. Bahkan Pemerintah Kamboja telah mengalihkan 19% dari total anggarannya yang biasanya digunakan sebagai anggaran militer untuk mendukung pengembangan pendidikan.
Gedung baru DPR, untuk apa? (Sumber : kompas.com)
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Para wakil rakyat di kursi DPR yang terbilang "pasif", tidak mau memikirkan nasib rakyat kecil yang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab mereka untuk disejahterakan. Mereka malah sibuk mengurusi urusan yang terbilang "tidak perlu", seperti usulan membangun gedung baru DPR yang anggaran totalnya hingga diatas 10 triliun rupiah. Lebih baik anggaran yang besar tersebut digunakan untuk membangun pendidikan gratis demi mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tercantum dalam tujuan berdirinya Indonesia didalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Dan, dari sikap para wakil rakyat kita diatas mencerminkan bahwa timbul satu pertanyaan, Apakah orang miskin dilarang sekolah? Atau, apakah sekolah hanya untuk siswa yang mampu?...

Sumber : Harian Kompas dan dari berbagai sumber

Artikel terkait :